Oleh: Gugum Ridho Putra, S.H., M.H.
Ketika mendengar kata PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) semacam playgroup dan sejenisnya, yang terbesit di pikiran kebanyakan orang tentulah soal biaya. Biaya sekolah di PAUD itu mahal. Saking mahalnya bahkan ada yang berseloroh kalau biaya sekolah di PAUD hari ini lebih mahal ketimbang biaya kuliah satu semester di Kampus. Karena itu ketika pendidik PAUD Nonformal menyuarakan kesejahteraan mereka ke Mahkamah Konstitusi banyak pihak yang memandang miring dan tidak percaya. Apa iya PAUD yang rata-rata berbiaya tinggi itu belum mensejahterakan para pendidiknya? Saya akui saya pun termasuk yang termakan prasangka ini pada awalnya. Sampai akhirnya saya memahami bahwa kesenjangan itu betul-betul ada dan bukan terjadi secara alamiah tetapi karena persoalan hukum pada tataran norma.
Isu PAUD yang ada di benak kebanyakan orang selama ini ternyata adalah layanan PAUD yang berada di kota-kota besar. PAUD yang punya nama besar lazimnya didirikan dengan badan hukum privat padat modal bahkan bekerja sama dengan satuan PAUD dari negara lain. Untuk PAUD yang semacam itu, kita tentu tidak perlu khawatir dengan kesejahteraan para pendidiknya karena memang sudah dijamin dengan baik. Tapi di luar itu ternyata ada pula PAUD lain pada jalur Nonformal yang didirikan masyarakat yang anak didiknya rata-rata berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka inilah yang pendidiknya bernasib tidak menentu. Jumlah satuan PAUD Nonformal jauh lebih banyak lagi sampai ke pelosok-pelosok. Mereka mengisi ruang-ruang yang tidak mampu dijangkau satuan PAUD yang sudah mapan tadi. Sebenarnya negara sangat terbantu oleh peran mereka yang turut menjamin pemerataan hak atas Pendidikan bagi anak-anak usia dini. Sayangnya hak mereka sendiri tidak ada yang menjamin sama sekali.
Imbalan atas pengabdian mereka sangatlah jauh dari layak. Gaji yang mereka terima tidak layak untuk ukuran seorang guru. Meski begitu, tidak pernah terbesit di pikiran mereka untuk menaikkan kesejahteraan dengan membebankan biaya kepada peserta didiknya. Beberapa satuan PAUD Nonformal bahkan tidak menentukan tarif iuran bagi peserta didiknya. Mereka menerima pembiayaan seikhlasnya. Untuk urusan biaya operasional, pengelola PAUD Nonformal sering menanggungnya dari kantong pribadi. Hal ini sudah biasa bagi satuan PAUD Nonformal dan sudah bukan cerita baru lagi.

Ada kalanya bantuan insentif datang meringankan beban para pendidiknya. Sayangnya insentif itu tidak turun setiap bulan, melainkan setahun sekali. Jumlahnya bervariasi untuk setiap daerah dan itupun tidak semua pendidik PAUD mendapatkannya. Salah satu pendidik PAUD Nonformal bercerita bahwa pernah suatu waktu ia mendapatkan bantuan insentif. Besaran yang didapat tahun itu adalah Rp 600,000,- (enam ratus ribu rupiah). Dari total 5 (lima) pendidik PAUD yang mengajar di tempatnya, cuma dia seorang yang dapat insentif. Uang itu tidak dinikmatinya sendiri, melainkan dibagi rata bersama 4 (empat) rekannya yang lain plus satu orang penjaga sekolah.
Pendidik PAUD Nonformal di daerah lain juga menerapkan hal yang sama. Di suatu daerah bahkan menerapkan pembagian merata dalam satu kecamatan. Setiap kali pendidik PAUD Nonformal se-kecamatan menerima insentif, mereka berinisiatif mengumpulkan seluruh uangnya. Total uang yang terkumpul itu kemudian dibagi rata bersama seluruh pendidik PAUD se-kecamatan yang tidak dapat insentif tahunan. Mereka seolah tidak peduli berapa yang akan mereka dapat pada akhir pembagian itu. Yang terpenting semua dapat merasakan insentif secara merata. Kira-kira bisa dibayangkan bagaimana keadaan mereka dalam menjalani profesi ini.
Assalamu’alaikum
Sejujurnya PAUD Formal pun banyak kesamaan nya…. Honor kami pun masih ada yang cuma 150 perbulan…. tanpa mendapatkan kucuran dana dari mana pun selain SPP dari murid…
Bismillah … Dan kami ikhlas