Bulan: Maret 2019

  • Lengkap! Sidang Ke-6 Mahkamah Konstitusi Uji UU Guru & Dosen

    Lengkap! Sidang Ke-6 Mahkamah Konstitusi Uji UU Guru & Dosen

    Pengujian UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen [Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1)] junctis UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional [Pasal 1 angka 14, Pasal 26 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 39 ayat (2)]”

    “Pemohon : Anisa Rosadi Kuasa Pemohon: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc., dan Gugum Ridho Putra, S.H., M.H.”

    Mendengarkan Keterangan Saksi Pemohon dan Ahli Presiden (VII)

  • Sebuah Jaminan Yang Lenyap Tersandung Hukum

    Sebuah Jaminan Yang Lenyap Tersandung Hukum

    Bagi yang belum tahu, selain jalur Pendidikan keluarga dan lingkungan (informal), PAUD dalam sistem Pendidikan kita dapat pula diselenggarakan dalam dua jalur yakni jalur formal dan non formal. Pembagian PAUD Formal dan Nonformal ini sudah diatur secara spesifik dalam Pasal 28 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Sisdiknas (UU Nomor 20 Tahun 2003). Bentuk satuan PAUD yang tergolong PAUD Formal adalah Taman Kanak – Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat. Sementara layanan PAUD yang tergolong PAUD Nonformal adalah Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA) atau bentuk lain yang sederajat. Dengan begitu, ketika menyebut pendidik pada PAUD Nonformal, maka yang kita maksudkan adalah pendidik pada Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

    Setelah ditelusuri secara seksama, permasalahan kesejahteraan Pendidik PAUD Nonformal berakar pada hukum yang mengatur profesi guru itu sendiri. Undang-Undang Guru dan Dosen (Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005) sebagai satu-satunya payung hukum untuk melindungi hak seorang guru, ternyata sama sekali tidak mengakui pendidik PAUD Nonformal sebagai guru. Hal ini tergambar dari definisi dan kedudukan guru dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Guru dan Dosen sebagai berikut:

    Pasal 1 angka (1) :
    Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi, peserta didik pada Pendidikan anak usia dini jalur Pendidikan formal, Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah

    Pasal 2 ayat (1)
    Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, Pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang – undangan

    Dengan berlakunya ketentuan tersebut, maka yang diakui sebagai guru dalam jenjang PAUD hanyalah pendidik pada PAUD Formal saja (TK dan RA). Sementara ratusan ribu pendidik lain yang mengajar pada PAUD Nonformal seperti KB, TPA dan SPS sama sekali tidak diakui sebagai guru. Lantaran tidak diakui sebagai guru, maka pendidik PAUD Nonformal tidak mendapatkan jaminan perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Semua jaminan hak-hak profesi guru yang diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Guru dan Dosen sama sekali tidak dapat mereka akses. Mereka tidak akan pernah memperoleh gaji pokok yang layak dengan segala macam tunjangan melekat pada gaji. Mereka tidak mendapatkan jaminan pengembangan kompetensi diri sebagai guru. Dan yang paling menyedihkan buat mereka adalah setinggi apapun Pendidikan yang mereka tempuh mereka tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program sertifikasi guru karena yang dapat mengikuti sertifikasi syaratnya haruslah guru sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Guru dan Dosen.

    Atas dasar itulah Pendidik PAUD Nonformal mengajukan permohonan pengujian undang-undang (judicial review) atas dua pasal dalam Undang-undang Guru dan Dosen itu ke Mahkamah Konstitusi. Dengan Permohonan itu, mereka berharap agar Mahkamah Konstitusi terketuk hatinya untuk meluruskan norma hukum yang timpang menjadi lurus kembali dengan turut memasukkan mereka sebagai bagian dari definisi dan kedudukan guru dalam kedua pasal tersebut. Tujuan dasar mereka bukan pragmatis masalah kesejahteraan semata. Jika sekedar kesejahteraan saja, mereka dapat saja pindah ke jalur Pendidikan formal yang lebih terjamin haknya sebagaimana telah diusulkan beberapa pihak tapi mereka tidak pernah pikiran untuk melakukan hal itu. Yang mereka lakukan semata memohon agar negara memberikan mereka bekal yang cukup agar mereka dapat fokus memberikan yang terbaik untuk anak-anak didiknya.

    Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa Permohonan yang diajukan di Mahkamah Konstitusi ini bukanlah permohonan untuk membatalkan ketentuan tentang definisi dan kedudukan guru dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1). Tidak perlu pula muncul kekhawatiran pada sisi pendidik PAUD Formal bahwa permohonan ini bertujuan melucuti hak profesi mereka sebagai guru. Tidak demikian. Permohonan ini hanyalah meminta agar Mahkamah meluruskan pemaknaan atas definisi dan kedudukan guru yang selama ini berlaku secara parsial karena hanya mencakup Pendidik PAUD Formal saja agar diluruskan dengan mencakup pula pendidik PAUD Nonformal di dalamnya. Jika permohonan itu dikabulkan, tidak ada sedikitpun hak guru PAUD Formal yang akan dikurangi. Justru pendidik PAUD Formal semestinya turut bergembira karena anak-anak didik pada satuan PAUD Nonformal pada akhirnya akan mendapatkan pendidik yang lebih baik dari sebelumnya. Pendidik yang bisa fokus membimbing dan mendampingi mereka secara penuh tanpa sedikitpun khawatir atas ketidakpastian akan menimpa profesinya.

  • Memahami Upaya Pendidik Paud Nonformal Mendapatkan Pengakuan Dan Status Sebagai Guru

    Memahami Upaya Pendidik Paud Nonformal Mendapatkan Pengakuan Dan Status Sebagai Guru

    Oleh: Gugum Ridho Putra, S.H., M.H.

    Ketika mendengar kata PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) semacam playgroup dan sejenisnya, yang terbesit di pikiran kebanyakan orang tentulah soal biaya. Biaya sekolah di PAUD itu mahal. Saking mahalnya bahkan ada yang berseloroh kalau biaya sekolah di PAUD hari ini lebih mahal ketimbang biaya kuliah satu semester di Kampus. Karena itu ketika pendidik PAUD Nonformal menyuarakan kesejahteraan mereka ke Mahkamah Konstitusi banyak pihak yang memandang miring dan tidak percaya. Apa iya PAUD yang rata-rata berbiaya tinggi itu belum mensejahterakan para pendidiknya? Saya akui saya pun termasuk yang termakan prasangka ini pada awalnya. Sampai akhirnya saya memahami bahwa kesenjangan itu betul-betul ada dan bukan terjadi secara alamiah tetapi karena persoalan hukum pada tataran norma.

    Isu PAUD yang ada di benak kebanyakan orang selama ini ternyata adalah layanan PAUD yang berada di kota-kota besar. PAUD yang punya nama besar lazimnya didirikan dengan badan hukum privat padat modal bahkan bekerja sama dengan satuan PAUD dari negara lain. Untuk PAUD yang semacam itu, kita tentu tidak perlu khawatir dengan kesejahteraan para pendidiknya karena memang sudah dijamin dengan baik. Tapi di luar itu ternyata ada pula PAUD lain pada jalur Nonformal yang didirikan masyarakat yang anak didiknya rata-rata berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka inilah yang pendidiknya bernasib tidak menentu. Jumlah satuan PAUD Nonformal jauh lebih banyak lagi sampai ke pelosok-pelosok. Mereka mengisi ruang-ruang yang tidak mampu dijangkau satuan PAUD yang sudah mapan tadi. Sebenarnya negara sangat terbantu oleh peran mereka yang turut menjamin pemerataan hak atas Pendidikan bagi anak-anak usia dini. Sayangnya hak mereka sendiri tidak ada yang menjamin sama sekali.

    Imbalan atas pengabdian mereka sangatlah jauh dari layak. Gaji yang mereka terima tidak layak untuk ukuran seorang guru. Meski begitu, tidak pernah terbesit di pikiran mereka untuk menaikkan kesejahteraan dengan membebankan biaya kepada peserta didiknya. Beberapa satuan PAUD Nonformal bahkan tidak menentukan tarif iuran bagi peserta didiknya. Mereka menerima pembiayaan seikhlasnya. Untuk urusan biaya operasional, pengelola PAUD Nonformal sering menanggungnya dari kantong pribadi. Hal ini sudah biasa bagi satuan PAUD Nonformal dan sudah bukan cerita baru lagi.

    Ada kalanya bantuan insentif datang meringankan beban para pendidiknya. Sayangnya insentif itu tidak turun setiap bulan, melainkan setahun sekali. Jumlahnya bervariasi untuk setiap daerah dan itupun tidak semua pendidik PAUD mendapatkannya. Salah satu pendidik PAUD Nonformal bercerita bahwa pernah suatu waktu ia mendapatkan bantuan insentif. Besaran yang didapat tahun itu adalah Rp 600,000,- (enam ratus ribu rupiah). Dari total 5 (lima) pendidik PAUD yang mengajar di tempatnya, cuma dia seorang yang dapat insentif. Uang itu tidak dinikmatinya sendiri, melainkan dibagi rata bersama 4 (empat) rekannya yang lain plus satu orang penjaga sekolah.

    Pendidik PAUD Nonformal di daerah lain juga menerapkan hal yang sama. Di suatu daerah bahkan menerapkan pembagian merata dalam satu kecamatan. Setiap kali pendidik PAUD Nonformal se-kecamatan menerima insentif, mereka berinisiatif mengumpulkan seluruh uangnya. Total uang yang terkumpul itu kemudian dibagi rata bersama seluruh pendidik PAUD se-kecamatan yang tidak dapat insentif tahunan. Mereka seolah tidak peduli berapa yang akan mereka dapat pada akhir pembagian itu. Yang terpenting semua dapat merasakan insentif secara merata. Kira-kira bisa dibayangkan bagaimana keadaan mereka dalam menjalani profesi ini.

  • Sidang Lanjutan Pengujian Undang-Undang Guru dan Dosen Ke-VI

    Sidang Lanjutan Pengujian Undang-Undang Guru dan Dosen Ke-VI

    Pagi ini, 20/03/2019 Pk 11.00 WIB, Mahkamah Konstitusi akan kembali menggelar sidang lanjutan Pengujian UU Guru dan Dosen yang diajukan oleh seorang Pendidik PAUD Nonformal. Agenda persidangan hari ini adalah pemeriksaan 2 saksi (fakta) dari Pemohon, dan Pemeriksaan 2 Ahli dari Pemerintah.

    Sebelumnya pada sidang yang lalu 14/03/2019 Ahli Hukum yang diajukan Pemohon a.n Heru Susetyo SH. LL.M. M.Si. Ph.D menegaskan terdapat perlakuan yang tidak sama pada pendidik PAUD Nonformal dengan berlakunya ketentuan pasal 1 angka 1 dan pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Pendidik PAUD Nonformal tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses hak-hak profesi nya sebagai guru.

    Ahli Pemohon dalam sidang lalu juga menegaskan bahwa definisi dan kedudukan guru dalam kedua pasal tersebut bersifat diskriminatif karena hanya mengakui pendidik PAUD Formal saja sebagai guru, Sementara pendidik PAUD Nonformal tidak. Padahal keduanya punya tugas dan beban kewajiban yang sama. Anak didik yang diajarkan sama (0-6 Tahun) dan dengan kurikulum yg sama pula. Namun ketika berbicara hak dan pengembangan diri (kompetensi), kesempatan yang diberikan justru berbeda.

    Kehadiran saksi (fakta) pada hari ini bertujuan untuk menerangkan secara real seperti apa dan bagaimana layanan satuan PAUD Nonformal itu dijalankan di lapangan. Betulkah ada perbedaan signifikan dengan PAUD Formal sehingga negara merasa perlu membeda-bedakan perlakuan kepada para pendidik nya? semua itu akan diterangkan Saksi Pemohon secara terperinci dalam sidang pagi hari ini.

    Demikian kami sampaikan, Semoga Allah SWT membantu menguatkan Mahkamah dalam memutus permohonan ini seadil-adilnya ( Ex Aequo Et bono ).


    Untuk membantu memahami latar belakang dan tujuan pengujian ini, klik artikel tulisan di sini.